CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »
welcome to my blogs :)

Selasa, 23 April 2013

TUGAS KETAMANSISWAAN II

SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL PENJAJAHAN MASA KINI

BAB 1
PENDAHULUAN

A.           Latar Belakang

Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Zaman sudah berubah. Semua orang ingin yang serba cepat. Jadi, cenderung mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi telah memanjakan kita. Ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli lewat situs.
“Hidup yang baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman, memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat.
Tetapi tidak asal cepat, kualitas harus tetap terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”, tapi ingat  ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya.Mendapatkan sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tidak mau melewati proses alias malas. Yang penting cepat, bermutu atau tidak, itu urusan nanti. Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan. Jadi banyak orang korupsi, mendapat gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal,
Asal lulus, cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat, membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak ragu-ragu mengorbankan orang lain.

A.           Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia?
2.      Apakah Sekolah Bermutu Hanya untuk Orang Kaya?
3.      Bagaimana biaya kuliah saat ini?
4.      Bagaimana dengan adaya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI)?
5.      Apakah benar Internasionalisasi Pendidikan adalah penjajahan pendidikan masa kini?
6.      Bagaimana seharusnya kemerdekaan itu?


B.            Tujuan

Makalah ini dibuat untuk memberikan gambaran perkembangan pendidikan di masa yang akan datang. Agar dapat dijadikan bahan acuan  pemuda generasi penerus bangsa khususnya kita sebagai mahasiswa dapat lebih semangat dalam memerdekakan pendidikan untuk mencerdaskan dan mensejahterakan kehidupan bersama menuju Indonesia yang lebih baik. 

BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pendidikan Masih Jadi Barang Mewah

Dewasa ini bangsa Indonesia sedang dilanda oleh berbagai krisis, baik krisis ekonomi, moneter, krisis politik, maupun krisis kepercayaan. Munculnya berbagai krisis ini ini mengundang berbagai gejolak dalam masyarakat, misalnya kurang terjaminnya keamanan diri apalagi di berbagai daerah tampaknya terjadi pertikaain antarsuku, antaragama yang dikhawatirkan akan menjadi awal kehancura dan runtuhnya Negara kesatuan republik ini. Persoalan yang dihadapkan pada kita adalah apa yang terjadi dan bagaimana kita menyikapi dari sudut pandang pendidikan ?
Fakta keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah barang baru di negeri ini. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang mahal. Keterbatasan itu kian mencolok di tengah minat publik untuk mengenyam pendidikan semakin meningkat. Sayangnya, alasan keterbatasan anggaran merupakan alasan klasik yang membuat negara tidak segera menyediakan akses pendidikan publik berkualitas secara merata. Jutaan anak didik harus rela membuang mimpi mengenyam pendidikan bermutu.
Tahun 2011, satu juta lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sederajat tidak tertampung di jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas/SMK/MA). Data Kementerian Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah lulusan SMP sederajat tahun 2011 sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1 juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi.
Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK sederajat, menurut Mustaghfirin Amin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional, membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun.
Demikian juga dengan Pendidikan Tinggi (PT). Dari total 540.953 peserta Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011, sebanyak 118.233 dinyatakan lolos ujian. Adapun sisanya, yakni 422.720 siswa harus menempuh studi di PT Swasta, dengan konsekuensi pembiayaan yang tentu tidaklah sedikit. Bagi yang tidak berduit, terpaksa melupakan mimpi untuk studi.
Jumlah Siswa SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada ratusan ribu siswa (rakyat) yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi. Setiap tahun ada 51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada yang jadi penganggur  ada pula yang memutuskan cari kerja. Tahun 2010 kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti kuliah. Lalu ke mana mereka-mereka ini? Padahal pendidikan adalah eskalator perubahan sosial.
Fenomena pendidikan sebagai barang mahal dan susah juga menghantui orangtua peserta didik Pendidikan Tinggi. Di salah satu PT Negeri, misalnya, dengan pola SPMA (Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik) I hingga SPMA IV, calon mahasiswa dipungut biaya dari Rp5 juta(bagi SPMA kategori I) yang orangtuanya berpendapatan Rp1 juta—Rp2,5 juta hingga Rp100 juta (untuk kategori SPMA IV) untuk orangtua yang memiliki pendapatan di atas Rp7,5 juta per bulan).

A.    Asumsi Sekolah SBI hanya untuk Orang Kaya

Kebanggaan bagi umumnya orangtua di Indonesia bisa menyekolahkan putra dan putri mereka. Suatu kepuasan apabila anak-anak bisa diterima di sekolah negeri. Apalagi dapat bersekolah Suatu Apakah Sekolah Bermutu Hanya untuk Orang Kaya.
Di sekolah favorit. Tapi, meski zaman berganti, pemimpin negeri naik turun, para orangtua selalu saja dihadapkan pada berbagai masalah sulitnya menyekolahkan anak-anak mereka sesuai keinginan.
Meski undang-undang menjamin setiap orang berhak memperoleh pendidikan, nyatanya hampir sepanjang masa di negeri ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan bagi banyak rumah tangga. Tentunya dalam ukuran dan skala berbeda. Bagi sedikit orang, urusan sekolah bagi anak-anak dan anggota keluarga mereka bisa diatasi dengan mudah karena berkocek tebal atau termasuk kalangan berpengaruh. Tetapi bagi banyak orang, sekolah kerap memusingkan.
Sekarang urusan sekolah malah semakin rumit. Gembar-gembor pemerintah tentang sekolah gratis untuk sekolah dasar (SD) Negeri, sekolah menengah pertama (SMP) negeri, bahkan juga sekolah menengah atas (SMA) negeri nyatanya tak membuat kebanyakan para orangtua tenang. Kehadiran sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) justru menimbulkan ketimpangan, membuat terbentuknya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Begitu juga untuk masuk perguruan tinggi negeri, berbagai masalah dihadapi para orangtua.
Sekolah berlabel internasional seperti menutup pintu bagi murid yang berasal dari keluarga kurang atau tidak mampu. Label internasional telah mendorong penyelenggara sekolah tersebut menentukan besaran uang masuk atau dana sumbangan pendidikan (DSP), di samping bebas memungut sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) per bulannya.
Besar DSP bervariasi dari Rp 1 juta di daerah/kota pinggiran sampai Rp 28,5 juta di ibu kota Jakarta. Begitu pun dengan SPP, para siswa setiap bulannya membayar Rp 50 ribu hingga Rp 750 ribu. Jumlah tersebut jelas sesuatu yang sulit dijangkau kebanyakan orangtua di negeri ini. Artinya, sulit bagi siswa dari kalangan kurang mampu, apalagi tidak berada, bisa masuk dalam sekolah bertaraf internasional tersebut.
Seperti kembali pada zaman penjajahan di mana sekolah-sekolah bermutu hanya terbatas untuk anak-anak orang Belanda dan etnis tertentu, atau anak-anak dari keluarga "berdarah biru".
Sampai dengan saat ini, yang dipahamkan adalah bahwa pendidikan merupakan sebuah jalan menuju perubahan, untuk memandirikan, untuk memerdekakan, untuk membebaskan belenggu. Pendidikan, bukan untuk menjadikan tetap dijajah, kepentingan pemodal, kepentingan asing, kepentingan penindas.
Disisi lain ada pula yang menikmati kenyamanan, pendidikan mahal, suasana belajar tak berkreasi, tanpa pengetahuan baru, menikmati tekanan dana utang luar negeri, keinginan industri, penghabisan lahan sumber kehidupan, haruskah pendidikan menjadi sebuah media melanggengkan penjajahan gaya baru?


Dulu uang 150 ribu per tahun sudah cukup untuk memperoleh gelar sarjana. Memang ada welas asih dari orang tua untuk konsumsi sebesar Rp 50 Ribu per bulan, atau Rp 2,4 Juta selama empat tahun. Biaya kos sebesar 200 ribu setahun, atau Rp 0,8 Juta sampai jadi sarjana. Dengan total anggaran Rp 3.8 Juta, sudah cukup untuk papan- walau hanya sewa, pangan- walau Indomie, tahu dan tempe saja, serta pakaian alakadarnya. Yang penting, tetap bisa jadi sarjana juga. Angka itulah yang dikeluarkan oleh orang tua dengan susah payah saat itu. Tidak ada biaya lainnya. Masih untung, riset skripsi pun gratis karena nebeng di sebuah Balai Penelitian milik pemerintah. Namun, itu dulu, sekitar 25 tahun yang lalu. Uang segitu sekarang hanya cukup untuk biaya ini-itu untuk satu keluarga kecil selama empat minggu saja.

Kini, beberapa teman gembira luar biasa ketika anak-anaknya diterima di PTN ternama. Namun ternyata, dua teman saya harus menyediakan uang sebesar Rp 33 Juta sebagai tanda masuk. Ada anak dari teman lain yang berhasil masuk kedokteran di PT yang sama mendapat keringanan biaya, namun tetap harus membayar belasan juta juga. Itu belum termasuk biaya BPP dan SKS yang harus dibayar setiap semester. Masih untung orang tuanya masih tinggal di sekitar daerah kampus itu berada. Lumayan masih bisa menghemat biaya kos, sarapan, atau makan malam. Tinggal menyediakan biaya transportasi dan msakan siang di sekitar kampus. Estimasi biaya untuk mendapat ijazah sarjana bisa di atas Rp 50 Juta.

Biaya awal yang disebut dengan Biaya Pengembangan Institusi dan Fasilitas (BPIF)- dipatok sama yaitu sebesar Rp 10 juta, serta Biaya Perlengkapan Mahasiswa Baru (BPMB) sebesar Rp 1,4 Juta. Sebelumnya, biaya pendaftaran untuk tes seleksi dikenakan Rp 500 Ribu. Kita asumsikan saja mahasiswanya bisa lulus selama empat tahun, atau 8 semester. Setiap semester ada biaya lagi yang disebut Biaya Peningkatan Mutu Pendidikan (BPMP) sebesar Rp 2 Juta, atau Rp 16 Juta untuk empat tahun. Jika selama empat tahun setiap mahasiswa mengambil mata kuliah- misalnya sebanyak 140 SKS- maka Biaya Penyelenggaraan Mata Kuliah (BPMK) adalah- kita ambil biaya SKS termurah yaitu Rp 125 Ribu- sebesar 140 sks X Rp 125 Ribu, atau Rp 17,5 Juta untuk emapt tahun. Di akhir semester ada lagi biaya mata kuliah tugas akhir (Kerja Praktek, Magang, Kolokium, Seminar, dan Skripsi) sebesar Rp 300 Ribu. Jadi estimasi biaya pendidikan yang harus dikeluarkan adalah sekitar Rp 45 Juta lebih sedikit. Itu perkiraan minimal dengan asumsi tidak ada biaya lainnya, termasuk tidak memperhitungkan biaya hidup di Bogor untuk kos, transportasi, dan konsumsi, serta biaya riset tugas akhir yang pasti dibebankan kepada mahasiswa.

Dulu 0,6 Juta, kini 45 juta. Sungguh luar biasa bedanya. Dulu murah, sekarang benar-benar mewah. Namun, sebentar, kayaknya tidak adil jika utak-atik uang tidak memperhitungkan nilai waktu uang. Para ahli sih menyebutnya dengan time value of money. Tidak usah ribet dengan teori uang dan bunga. Andaikan uang sebesar 600 ribu disimpan selama 25 tahun dengan bunga 10 persen saja hanya berkembang menjadi Rp 6,5 Juta saja. Uang 0,6 Juta tersebut baru bisa menjadi 45 Juta jika tingkat suku bunganya minimal sekitar 106 persen per tahun. Jadi selama kurun waktu seperempat abad, biaya pendidikan sudah membengkak lebih dari 100 kali lipat. Walau ini hanya pat-pat gulipat sederhana, namun hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan bukan lagi barang sederhana yang bisa dinikmati oleh penduduk Indonesia.

Kita coba pakai perbandingan harga antar dua komuditas dalam dua kurun waktu yang berbeda. Dulu, 0,6 juta jauh lebih rendah dari uang makan  sebesar 2,4 Juta (50 Ribu per bulan x 48 bulan) selama empat tahun. Jadi, biaya pendidikan hanya seperempat dari biaya hidup. Kini, katakanlah biaya hidup mahasiswa sekarang sebesar 50 Ribu per hari, atau satu juta per bulan- angka ini sudah sangat mencukupi atau di atas rata-rata uang jajan mahasiswa- maka selama 4 tahun nilainya adalah 48 juta. Jadi, sekarang biaya pendidikan setara dengan biaya hidup mahasiswa dalam kurun waktu yang sama. Jika biaya tersebut dibebankan ke orang tua, maka biayanya menjadi dua kali lipatnya, atau mendekati 100 Juta. Atau dengan ukuran per bulan, orang tua harus menyisihkan dana minimal sebesar Rp 2 Juta per bulan

Uang sebesar Rp 2 Juta per bulan yang disisihkan selama empat tahun tentu bukan menjadi masalah buat orang berada. Namun buat keluarga miskin, yang pendapatannya dipatok oleh BPS sebesar Rp 233.740 per bulan, pendidikan tinggi menjadi komoditas super mewah, yang mungkin hanya bisa didapatkan dalam mimpi. Memang masih ada harapan dengan kebijakan bahwa PT wajib mengalokasikan kursi mahasiswa baru minimal 20 persen untuk keluarga miskin. Anggaran pendidikan pun sudah dipatok minimal 20 persen dari anggaran pemerintah. Namun, itupun masih banyak hambatan dan tidak bisa menampung semua warga yang bercita-cita menjadi seorang sarjana.

Dulu, pendidikan tinggi lebih murah dari harga barang pokok. Kini, sudah menjadi barang mewah. bisakah lorong waktu diputar kembali ke masa itu?


C.           RSBI, Tempat Sekolah Orang Berduit?

Biaya sekolah di sekolah milik pemerintah yang berstatus negeri justru lebih mahal, ketimbang biaya di sekolah. Untuk masuk ke sekolah negeri ini, para wali murid harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jutaan rupiah nominalnya. Apalagi sekolah itu, termasuk sekolah pavorit. Untuk masuk SD saja, biaya yang harus dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya, apalagi masuk SMP dan SMA. Berbagai macam biaya yang dibebankan kepada wali murid, mulai dari biaya masuk, biaya seragam, biaya ekstrakulikuler, biaya bangunan dan sebagainya. Kok bisa seperti itu ya?
Setelah proses berjalan, wali murid juga harus dibebankan dengan biaya yang lain-lainnya lagi. Alasannya untuk membangun pagar sekolah, membangun laboratorium, membangun lapangan volly ball dan sebagainya. Sehingga di total-total mencapai jutaan rupiah juga. Dan bisa dibayar berangsur-angsur layaknya membayar tagihan kredit.
Mirisnya, biaya yang besar ini kebanyakan dipungut oleh sekolah negeri pavorit. Apalagi sekolah itu merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Walaupun sejak dulu, hanya rintisan melulu, tak pernah benar-benar bertaraf Internasional. Bukan rahasia umum, untuk bersekolah di RSBI ini harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga RSBI ini lebih dikenal tempat sekolahnya anak orang kaya. Sebab, anak orang miskin tidak mampu bersekolah di RSBI, walapu jika diukur dari segi prestasi, baik akademik atau non akademik, otaknya lebih mampu dibandingkan anak orang kaya tersebut. Apakah ini bukan diskriminasi?
Ada yang mengatakan RSBI terkesan dipaksakan. Sebab, RSBI tidak dilengkapi tenaga pengajar yang mumpuni. Terkesan, RSBI ini hanya sekedar sekolah gagah-gahan semata, dengan tarif internasional. selain itu, RSBI semakin mentereng, sebab para siswanya mampu berpidato dengan beragam bahasa asing yang selalu dipamerkan ketika ada acara-acara tertentu. Mulai dari Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Jepang dan sebagainya. Terkesan, sekolah ini lebih mirip dengan lembaga kursus bahasa asing.
Semestinya, RSBI tidak hanya sekedar mengusai bahasa asing semata, tetapi lebih dari itu. RSBI merupakan sekolah yang menciptakan siswanya berwasan Insternasional.
Kemudian, tidak lagi ada diskriminasi terhadap orang kaya dan miskin. Justru, RSBI menjadi tempat berkumpulnya manusia-manusia berprestasi, baik itu kaya mapun miskin. RSBI menyediakan ruang bagi mereka yang berprestasi tanpa harus pandang bulu. Sebab, si miskin juga berhak mendapatkan pendidikan di sekolah yang layak. Apakah fenomena pendidikan ini sama seperti di daerah anda?


D.           InternasionalisasiPendidikan = PenjajahanPendidikan?

     Akankah dengan adanya Rintisan Sekolah Bertaraf Internasinal dunia pendidikan kita akan mengalami nasib seperti bangkrutnya perusahaan lokal karena tidak mampu bersaing dengan produk China yang secara bebas membanjiri pasar lokal kita?
DalamRancanganUndang-UndangPendidikanTinggi (RUU PT), Pasal 32 RUU PT menyatakan bahwa Internasionalisasi Pendidikan Tinggi dilaksanakan melalui; penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional; Kerjasama internasional antara lembaga penyelenggara pendidikan tinggi Indonesia dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain; dan penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain.
Pada dasarnya, pasal ini lahir dengan harapan, yaitu pembentukan masyarakat intelektual yang mandiri, pembukaan wawasan pada mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat internasional, menjadi pendorong bagi tiap perguruan tinggi untuk bisa bersaing dalam kancah persaingan globa, bermanfaat besar bagi ilmu pengetahuan, pembangunan sosial dan  ekonomi.
Namun disisi lain juga ditakuti karena tanpadisadari program ini kemudian akan berubah menjadi komoditas bisnis, juga dapat melukai anak-anak bangsa. Kemudian akan semakin menjauhkan akses pendidikan tinggi dari rakyat menengah ke bawah dan akan menimbulkan ancaman bagi eksistensi kekayaan budaya Nasional, Indonesia justru akan kehilangan keunikan pelajaran mengenai budaya Indonesia dan tentunya mengancam eksistensi pendidian tinggi terutama perguruan tinggi swasta di Indonesia.
Sedangkan pada era globalisasi ini perkembangan ilmu dan teknologi yang pesat menuntut munculnya beragam jenis dan kualitas produk yang lebih kompetitif sesuai dengan kebutuhan masyaraka tglobal.



E.            Kemerdekaan Berpendidikan dan Pendidikan yang Memerdekakan

Kata “merdeka” sangat erat kaitannya dengan pendidikan. Substansi pendidikan adalah menyangkut soal kemerdekaan. Ada dua bentuk kaitan antara pendidikan dengan kemerdekaan.
Pertama, secara substansial, kaitan antara pendidikan dan kemerdekaan menyangkut spirit dan konsep pendidikan itu sendiri. Warga negara harus mereguk pendidikan yang berspirit "memerdekakan". Metodologi maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan tidak boleh memiliki indikasi "pengekangan". Spirit kemerdekaan, dalam konsep pendidikan sangat memengaruhi paradigma dan perspektif kebangsaankenegaraan seorang warga negara. Pada akhirnya, itu akan menentukan cara pandang warga sebuah negara terhadap dunia.
Pendidikan memiliki dua dimensi: nasional dan global. Konsep pendidikan yang memerdekakan akan melahirkan generasi-generasi dengan cara pandang yang merdeka pula. Mereka akan memiliki paradigma yang melintas batas ruang dan waktu. Sehingga mereka bisa membawa bangsa dan negara ini ke dalam kancah kompetisi internasional
Sebaliknya, konsep pendidikan yang cenderung mengekang (tidak berspirit memerdekakan) akan melahirkan generasi dengan cara pandang yang tertutup dan eksklusif. Mereka tidak akan melihat kompetisi sebagai sebuah tantangan, melainkan ancaman. Padahal dalam kancah global, keterbukaan dan kompetisi tak terhindarkan. Ada ketakutan terhadap dunia luar sehingga cenderung menutup diri. Terjadi krisis jati diri: tidak percaya pada kekuatan internal untuk mampu menghadapi tantangan eksternal. Identitas ke-nasional-annya inferior di hadapan globalitas. Jadi, konsep pendidikan dengan spirit memerdekakan, bukan pengekangan, akan menentukan kualitas mental dan paradigma berpikir generasi mendatang
Kedua, kaitan pendidikan dengan kemerdekaan yang lain adalah bahwa mendapatkan pendidikan merupakan bagian dari hak kewarganegaraan setiap orang. Itu adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh negara kepada warganya. Sebuah negara (pemerintahan) dinilai sudah memenuhi hak pendidikan warga negaranya, jika telah mencapai taraf "memerdekakan" secara finansial. Pendidikan menjadi bagian dari "fasilitas" yang diberikan oleh negara kepada warganya.
Pada dasarnya yang berkebutuhan pada warga negara yang berpendidikan adalah negara, ketimbang warga negara itu sendiri. Sebab tinggi rendahnya taraf pendidikan warga sebuah negara akan menentukan masa depan negara itu sendiri. Klausul "memberikan pendidikan layak adalah tanggung jawab dan kewajiban negara kepada warganya" ada dalam konteks pengertian ini.
Sesuai dengan Pancadarma ke – 3 yang dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu Kemerdekaan,yang mengandung arti bahwa kemerdekaan sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang memberikan kepadanya “Hak untuk mengatur dirinya sendiri”, dengan selalu mengingat syarat tertib damainya hidup bermasyarakat. Karena itu kemerdekaan diri harus diartikan Swadisiplin atas dasar nilai hidup yang luhur, baik hidup sebagai individu maupun anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan keselarasan dengan kehidupan bermasyarakat.

BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan

Fakta keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah barang baru di negeri ini. Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang mahal. Keterbatasan itu kian mencolok di tengah minat publik untuk mengenyam pendidikan semakin meningkat. Pendidikan memiliki dua dimensi: nasional dan global. Konsep pendidikan yang memerdekakan akan melahirkan generasi-generasi dengan cara pandang yang merdeka pula. Mereka akan memiliki paradigma yang melintas batas ruang dan waktu. Sehingga mereka bisa membawa bangsa dan negara ini ke dalam kancah kompetisi internasional.
Sebaliknya, konsep pendidikan yang cenderung mengekang (tidak berspirit memerdekakan) akan melahirkan generasi dengan cara pandang yang tertutup dan eksklusif. Mereka tidak akan melihat kompetisi sebagai sebuah tantangan, melainkan ancaman. Padahal dalam kancah global, keterbukaan dan kompetisi tak terhindarkan. Ada ketakutan terhadap dunia luar sehingga cenderung menutup diri. Terjadi krisis jati diri: tidak percaya pada kekuatan internal untuk mampu menghadapi tantangan eksternal. Identitas ke-nasional-annya inferior di hadapan globalitas. Jadi, konsep pendidikan dengan spirit memerdekakan, bukan pengekangan, akan menentukan kualitas mental dan paradigma berpikir generasi mendatang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar