SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL PENJAJAHAN MASA KINI
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan sepanjang hayat. Setiap manusia membutuhkan
pendidikan, sampai kapan dan dimanapun ia berada. Pendidikan sangat penting
artinya, sebab tanpa pendidikan manusia akan sulit berkembang dan bahkan akan
terbelakang. Dengan demikian pendidikan harus betul-betul diarahkan untuk
menghasilkan manusia yang berkualitas dan mampu bersaing, di samping memiliki
budi pekerti yang luhur dan moral yang baik.
Zaman sudah berubah. Semua orang ingin yang serba cepat. Jadi, cenderung
mengabaikan proses tapi ingin segera mendapat hasil. Apalagi di negara dengan
etos kerja rendah seperti Indonesia. Akibatnya, budaya instan mulai masuk ke
setiap kehidupan kita. Hidup di zaman modern seperti sekarang ini segala
sesuatu dapat kita dapatkan dengan mudah, praktis dan cepat. Kemajuan teknologi
telah memanjakan kita. Ngobrol dengan rekan atau saudara yang bermukim di
belahan dunia lain, tinggal angkat telepon atau buka internet. Ingin belanja
atau makan di restoran tapi malas keluar, tinggal pesan lewat telepon atau beli
lewat situs.
“Hidup yang
baik dan sukses adalah hidup yang sesuai dengan proses alam”. Sampai level
tertentu teknologi bisa kita pakai untuk mempercepat hal-hal yang bisa
dipercepat sesuai hukum alam. Kemajuan teknologi dan tuntutan zaman,
memungkinkan kita mendapatkan sesuatu serba cepat.
Tetapi tidak asal cepat, kualitas harus tetap
terjaga. “Padi 100 hari baru panen itu bagus”, tapi ingat ada yang bisa dipercepat. Mestinya, hasilnya
harus lebih baik. Jadi, cepat, baik dan bermutu harus berlangsung bersama. Sayangnya,
yang terjadi justru sebaliknya.Mendapatkan
sesuatu dengan mudah membuat orang enggan bersusah payah. Tidak mau melewati
proses alias malas. Yang penting cepat, bermutu atau tidak, itu urusan nanti.
Berorientasi hanya pada hasil. Proses tidak penting. Parahnya, “virus” itu
sudah menyebar ke berbagai aspek kehidupan. Ingin sukses dengan cara instan.
Jadi banyak orang korupsi, mendapat gelar palsu, beli skripsi, ijazah aspal,
Asal lulus,
cepat kaya lewat penggandaan uang dan lain sebagainya. Kalau memang berat,
membosankan dan ketinggalan zaman mengapa kita harus bermutu? Kalau ada cara
cepat yang memberi hasil, mengapa tidak dicoba?. Lebih lanjut, sekarang ini
sudah terjadi pergeseran nilai di masyarakat. Orang makin individualis dan
cenderung melecehkan hak orang lain. Untuk mengejar kesuksesannya, orang tak
ragu-ragu mengorbankan orang lain.
A.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimanakah kondisi pendidikan di Indonesia?
2.
Apakah Sekolah Bermutu Hanya
untuk Orang Kaya?
3.
Bagaimana biaya kuliah saat ini?
4.
Bagaimana dengan adaya Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI)?
5. Apakah benar Internasionalisasi Pendidikan adalah penjajahan pendidikan masa kini?
6.
Bagaimana seharusnya kemerdekaan itu?
B.
Tujuan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan
Masih Jadi Barang Mewah
Dewasa ini bangsa Indonesia sedang dilanda
oleh berbagai krisis, baik krisis ekonomi, moneter, krisis politik, maupun krisis
kepercayaan. Munculnya berbagai krisis ini ini mengundang berbagai gejolak
dalam masyarakat, misalnya kurang terjaminnya keamanan diri apalagi di berbagai
daerah tampaknya terjadi pertikaain antarsuku, antaragama yang dikhawatirkan
akan menjadi awal kehancura dan runtuhnya Negara kesatuan republik ini.
Persoalan yang dihadapkan pada kita adalah apa yang terjadi dan bagaimana kita
menyikapi dari sudut pandang pendidikan ?
Fakta keterbatasan akses pendidikan
publik bukanlah barang baru di negeri ini. Keterbatasan infrastruktur
menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang mahal. Keterbatasan itu
kian mencolok di tengah minat publik untuk mengenyam pendidikan semakin
meningkat. Sayangnya, alasan keterbatasan anggaran merupakan alasan klasik yang
membuat negara tidak segera menyediakan akses pendidikan publik berkualitas
secara merata. Jutaan anak didik harus rela membuang mimpi mengenyam pendidikan
bermutu.
Tahun 2011,
satu juta lulusan SMP (Sekolah Menengah Pertama) sederajat tidak tertampung di
jenjang pendidikan SMA (Sekolah Menengah Atas/SMK/MA). Data Kementerian
Pendidikan Nasional menunjukan, jumlah lulusan SMP sederajat tahun 2011
sebanyak 4,2 juta siswa. Padahal, daya tampung SMA/SMK/MA hanya sekitar 3,1
juta, jadi ada 1,1 juta siswa yang tidak mendapat kursi.
Agar semua siswa lulusan SMP tertampung di SMA/SMK
sederajat, menurut Mustaghfirin Amin, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah,
Kementerian Pendidikan Nasional, membutuhkan dana sekitar Rp 4 triliun.
Demikian
juga dengan Pendidikan Tinggi (PT). Dari total 540.953 peserta Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) tahun 2011, sebanyak 118.233 dinyatakan
lolos ujian. Adapun sisanya, yakni 422.720 siswa harus menempuh studi di PT
Swasta, dengan konsekuensi pembiayaan yang tentu tidaklah sedikit. Bagi yang
tidak berduit, terpaksa melupakan mimpi untuk studi.
Jumlah Siswa
SMA yang lulus tahun 2011 mencapai 1.450.498. Itu artinya, ada ratusan ribu
siswa (rakyat) yang tidak dapat mengenyam Pendidikan Tinggi. Setiap tahun ada
51,7 persen lulusan SMA yang tidak melanjutkan studi. Ada yang jadi penganggur ada pula yang memutuskan cari kerja. Tahun
2010 kementerian Pendidikan Nasional mendata, penduduk Indonesia yang berusia
kuliah (19-23 tahun) yang terdaftar di perguruan tinggi ada sekitar 5,2 juta
orang. Jumlah itu baru 24,67 persen dari total 21,18 juta pemuda yang mesti
kuliah. Lalu ke mana mereka-mereka ini? Padahal pendidikan adalah eskalator
perubahan sosial.
Fenomena
pendidikan sebagai barang mahal dan susah juga menghantui orangtua peserta
didik Pendidikan Tinggi. Di salah satu PT Negeri, misalnya, dengan pola SPMA
(Sumbangan Peningkatan Mutu Akademik) I hingga SPMA IV, calon mahasiswa
dipungut biaya dari Rp5 juta(bagi SPMA kategori I) yang orangtuanya
berpendapatan Rp1 juta—Rp2,5 juta hingga Rp100 juta (untuk kategori SPMA IV)
untuk orangtua yang memiliki pendapatan di atas Rp7,5 juta per bulan).
A. Asumsi
Sekolah SBI hanya untuk Orang Kaya
Kebanggaan bagi umumnya orangtua di Indonesia bisa
menyekolahkan putra dan putri mereka. Suatu kepuasan apabila anak-anak bisa
diterima di sekolah negeri. Apalagi dapat bersekolah Suatu Apakah Sekolah Bermutu Hanya untuk Orang Kaya.
Di sekolah
favorit. Tapi, meski zaman berganti, pemimpin negeri naik turun, para orangtua
selalu saja dihadapkan pada berbagai masalah sulitnya menyekolahkan anak-anak
mereka sesuai keinginan.
Meski
undang-undang menjamin setiap orang berhak memperoleh pendidikan, nyatanya
hampir sepanjang masa di negeri ini masalah pendidikan tetap menjadi persoalan
bagi banyak rumah tangga. Tentunya dalam ukuran dan skala berbeda. Bagi sedikit
orang, urusan sekolah bagi anak-anak dan anggota keluarga mereka bisa diatasi
dengan mudah karena berkocek tebal atau termasuk kalangan berpengaruh. Tetapi
bagi banyak orang, sekolah kerap memusingkan.
Sekarang
urusan sekolah malah semakin rumit. Gembar-gembor pemerintah tentang sekolah
gratis untuk sekolah dasar (SD) Negeri, sekolah menengah pertama (SMP) negeri,
bahkan juga sekolah menengah atas (SMA) negeri nyatanya tak membuat kebanyakan
para orangtua tenang. Kehadiran sekolah berlabel rintisan sekolah bertaraf
internasional (RSBI) dan sekolah bertaraf internasional (SBI) justru
menimbulkan ketimpangan, membuat terbentuknya jurang pemisah antara si kaya dan
si miskin. Begitu juga untuk masuk perguruan tinggi negeri, berbagai masalah
dihadapi para orangtua.
Sekolah
berlabel internasional seperti menutup pintu bagi murid yang berasal dari
keluarga kurang atau tidak mampu. Label internasional telah mendorong
penyelenggara sekolah tersebut menentukan besaran uang masuk atau dana
sumbangan pendidikan (DSP), di samping bebas memungut sumbangan penyelenggaraan
pendidikan (SPP) per bulannya.
Besar DSP
bervariasi dari Rp 1 juta di daerah/kota pinggiran sampai Rp 28,5 juta di ibu
kota Jakarta. Begitu pun dengan SPP, para siswa setiap bulannya membayar Rp 50
ribu hingga Rp 750 ribu. Jumlah tersebut jelas sesuatu yang sulit dijangkau
kebanyakan orangtua di negeri ini. Artinya, sulit bagi siswa dari kalangan
kurang mampu, apalagi tidak berada, bisa masuk dalam sekolah bertaraf
internasional tersebut.
Seperti
kembali pada zaman penjajahan di mana sekolah-sekolah bermutu hanya terbatas
untuk anak-anak orang Belanda dan etnis tertentu, atau anak-anak dari keluarga
"berdarah biru".
Sampai
dengan saat ini, yang dipahamkan adalah bahwa pendidikan merupakan sebuah jalan
menuju perubahan, untuk memandirikan, untuk memerdekakan, untuk membebaskan
belenggu. Pendidikan, bukan untuk menjadikan tetap dijajah, kepentingan
pemodal, kepentingan asing, kepentingan penindas.
Disisi lain ada pula yang menikmati kenyamanan,
pendidikan mahal, suasana belajar tak berkreasi, tanpa pengetahuan baru,
menikmati tekanan dana utang luar negeri, keinginan industri, penghabisan lahan
sumber kehidupan, haruskah pendidikan menjadi sebuah media melanggengkan
penjajahan gaya baru?
Dulu
uang 150 ribu per tahun sudah cukup untuk memperoleh gelar sarjana. Memang ada
welas asih dari orang tua untuk konsumsi sebesar Rp 50 Ribu per bulan, atau Rp
2,4 Juta selama empat tahun. Biaya kos sebesar 200 ribu setahun, atau Rp 0,8
Juta sampai jadi sarjana. Dengan total anggaran Rp 3.8 Juta, sudah cukup untuk
papan- walau hanya sewa, pangan- walau Indomie, tahu dan tempe saja, serta pakaian
alakadarnya. Yang penting, tetap bisa jadi sarjana juga. Angka itulah yang
dikeluarkan oleh orang tua dengan susah payah saat itu. Tidak ada biaya
lainnya. Masih untung, riset skripsi pun gratis karena nebeng di sebuah Balai Penelitian milik
pemerintah. Namun, itu dulu, sekitar 25 tahun yang lalu. Uang segitu sekarang
hanya cukup untuk biaya ini-itu untuk satu keluarga kecil selama empat
minggu saja.
Kini, beberapa teman gembira luar biasa ketika anak-anaknya diterima di
PTN ternama. Namun ternyata, dua teman saya harus menyediakan uang sebesar Rp
33 Juta sebagai tanda masuk. Ada anak dari teman lain yang berhasil masuk
kedokteran di PT yang sama mendapat keringanan biaya, namun tetap harus
membayar belasan juta juga. Itu belum termasuk biaya BPP dan SKS yang harus
dibayar setiap semester. Masih untung orang tuanya masih tinggal di sekitar
daerah kampus itu berada. Lumayan masih bisa menghemat biaya kos, sarapan, atau
makan malam. Tinggal menyediakan biaya transportasi dan msakan siang di sekitar
kampus. Estimasi biaya untuk mendapat ijazah sarjana bisa di atas Rp 50 Juta.
Biaya awal yang disebut dengan Biaya Pengembangan Institusi dan Fasilitas
(BPIF)- dipatok sama yaitu sebesar Rp 10 juta, serta Biaya Perlengkapan
Mahasiswa Baru (BPMB) sebesar Rp 1,4 Juta. Sebelumnya, biaya pendaftaran untuk
tes seleksi dikenakan Rp 500 Ribu. Kita asumsikan saja mahasiswanya bisa lulus
selama empat tahun, atau 8 semester. Setiap semester ada biaya lagi yang
disebut Biaya Peningkatan Mutu Pendidikan (BPMP) sebesar Rp 2 Juta, atau Rp 16
Juta untuk empat tahun. Jika selama empat tahun setiap mahasiswa mengambil mata
kuliah- misalnya sebanyak 140 SKS- maka Biaya Penyelenggaraan Mata Kuliah
(BPMK) adalah- kita ambil biaya SKS termurah yaitu Rp 125 Ribu- sebesar 140 sks
X Rp 125 Ribu, atau Rp 17,5 Juta untuk emapt tahun. Di akhir semester ada lagi
biaya mata kuliah tugas akhir (Kerja Praktek, Magang, Kolokium, Seminar, dan
Skripsi) sebesar Rp 300 Ribu. Jadi estimasi biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan adalah sekitar Rp 45 Juta lebih sedikit. Itu perkiraan minimal
dengan asumsi tidak ada biaya lainnya, termasuk tidak memperhitungkan biaya
hidup di Bogor untuk kos, transportasi, dan konsumsi, serta biaya riset tugas
akhir yang pasti dibebankan kepada mahasiswa.
Dulu 0,6 Juta, kini 45 juta. Sungguh luar biasa bedanya. Dulu murah,
sekarang benar-benar mewah. Namun, sebentar, kayaknya tidak adil jika utak-atik
uang tidak memperhitungkan nilai waktu uang. Para ahli sih menyebutnya dengan time value of money. Tidak
usah ribet dengan teori uang dan bunga. Andaikan uang sebesar 600 ribu disimpan
selama 25 tahun dengan bunga 10 persen saja hanya berkembang menjadi Rp 6,5
Juta saja. Uang 0,6 Juta tersebut baru bisa menjadi 45 Juta jika tingkat suku
bunganya minimal sekitar 106 persen per tahun. Jadi selama kurun waktu
seperempat abad, biaya pendidikan sudah membengkak lebih dari 100 kali lipat.
Walau ini hanya pat-pat
gulipat sederhana, namun
hasilnya menunjukkan bahwa pendidikan bukan lagi barang sederhana yang bisa
dinikmati oleh penduduk Indonesia.
Kita coba pakai perbandingan harga antar dua komuditas dalam dua kurun
waktu yang berbeda. Dulu, 0,6 juta jauh lebih rendah dari uang makan
sebesar 2,4 Juta (50 Ribu per bulan x 48 bulan) selama empat tahun. Jadi, biaya
pendidikan hanya seperempat dari biaya hidup. Kini, katakanlah biaya hidup
mahasiswa sekarang sebesar 50 Ribu per hari, atau satu juta per bulan- angka
ini sudah sangat mencukupi atau di atas rata-rata uang jajan mahasiswa- maka
selama 4 tahun nilainya adalah 48 juta. Jadi, sekarang biaya pendidikan setara
dengan biaya hidup mahasiswa dalam kurun waktu yang sama. Jika biaya tersebut
dibebankan ke orang tua, maka biayanya menjadi dua kali lipatnya, atau
mendekati 100 Juta. Atau dengan ukuran per bulan, orang tua harus menyisihkan dana
minimal sebesar Rp 2 Juta per bulan
Uang sebesar Rp 2 Juta per bulan yang disisihkan selama empat tahun tentu
bukan menjadi masalah buat orang berada. Namun buat keluarga miskin, yang
pendapatannya dipatok oleh BPS sebesar Rp 233.740 per bulan, pendidikan tinggi
menjadi komoditas super mewah, yang mungkin hanya bisa didapatkan dalam mimpi.
Memang masih ada harapan dengan kebijakan bahwa PT wajib mengalokasikan kursi
mahasiswa baru minimal 20 persen untuk keluarga miskin. Anggaran pendidikan pun
sudah dipatok minimal 20 persen dari anggaran pemerintah. Namun, itupun masih
banyak hambatan dan tidak bisa menampung semua warga yang bercita-cita menjadi
seorang sarjana.
Dulu, pendidikan tinggi lebih murah dari harga barang pokok. Kini, sudah
menjadi barang mewah. bisakah
lorong waktu diputar kembali ke masa itu?
C.
RSBI, Tempat Sekolah Orang Berduit?
Biaya
sekolah di sekolah milik pemerintah yang berstatus negeri justru lebih mahal,
ketimbang biaya di sekolah. Untuk masuk ke sekolah negeri ini, para wali murid
harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Jutaan rupiah nominalnya. Apalagi
sekolah itu, termasuk sekolah pavorit. Untuk masuk SD saja, biaya yang harus
dikeluarkan tidak sedikit jumlahnya, apalagi masuk SMP dan SMA. Berbagai macam
biaya yang dibebankan kepada wali murid, mulai dari biaya masuk, biaya seragam,
biaya ekstrakulikuler, biaya bangunan dan sebagainya. Kok bisa seperti itu ya?
Setelah
proses berjalan, wali murid juga harus dibebankan dengan biaya yang
lain-lainnya lagi. Alasannya untuk membangun pagar sekolah, membangun
laboratorium, membangun lapangan volly ball dan sebagainya. Sehingga di
total-total mencapai jutaan rupiah juga. Dan bisa dibayar berangsur-angsur
layaknya membayar tagihan kredit.
Mirisnya,
biaya yang besar ini kebanyakan dipungut oleh sekolah negeri pavorit. Apalagi
sekolah itu merupakan Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Walaupun
sejak dulu, hanya rintisan melulu, tak pernah benar-benar bertaraf
Internasional. Bukan rahasia umum, untuk bersekolah di RSBI ini harus
mengeluarkan biaya yang tidak sedikit. Sehingga RSBI ini lebih dikenal tempat
sekolahnya anak orang kaya. Sebab, anak orang miskin tidak mampu bersekolah di
RSBI, walapu jika diukur dari segi prestasi, baik akademik atau non akademik,
otaknya lebih mampu dibandingkan anak orang kaya tersebut. Apakah ini bukan
diskriminasi?
Ada
yang mengatakan RSBI terkesan dipaksakan. Sebab, RSBI tidak dilengkapi tenaga
pengajar yang mumpuni. Terkesan, RSBI ini hanya sekedar sekolah gagah-gahan
semata, dengan tarif internasional. selain itu, RSBI semakin mentereng, sebab
para siswanya mampu berpidato dengan beragam bahasa asing yang selalu
dipamerkan ketika ada acara-acara tertentu. Mulai dari Bahasa Arab, Bahasa
Inggris, Jepang dan sebagainya. Terkesan, sekolah ini lebih mirip dengan
lembaga kursus bahasa asing.
Semestinya,
RSBI tidak hanya sekedar mengusai bahasa asing semata, tetapi lebih dari itu.
RSBI merupakan sekolah yang menciptakan siswanya berwasan Insternasional.
Kemudian,
tidak lagi ada diskriminasi terhadap orang kaya dan miskin. Justru, RSBI
menjadi tempat berkumpulnya manusia-manusia berprestasi, baik itu kaya mapun
miskin. RSBI menyediakan ruang bagi mereka yang berprestasi tanpa harus pandang
bulu. Sebab, si miskin juga berhak mendapatkan pendidikan di sekolah yang
layak. Apakah fenomena pendidikan ini sama seperti di daerah anda?
D.
InternasionalisasiPendidikan
= PenjajahanPendidikan?
Akankah dengan adanya Rintisan
Sekolah Bertaraf Internasinal dunia pendidikan kita akan mengalami nasib seperti bangkrutnya perusahaan lokal karena tidak mampu bersaing dengan produk
China yang secara bebas membanjiri pasar lokal kita?
DalamRancanganUndang-UndangPendidikanTinggi (RUU PT),
Pasal 32 RUU PT menyatakan bahwa Internasionalisasi Pendidikan Tinggi dilaksanakan melalui;
penyelenggaraan pembelajaran yang bertaraf internasional;
Kerjasama internasional antara lembaga penyelenggara pendidikan tinggi Indonesia
dan lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara lain;
dan penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh lembaga penyelenggara pendidikan tinggi negara
lain.
Pada dasarnya, pasal
ini lahir dengan harapan, yaitu pembentukan masyarakat intelektual yang
mandiri, pembukaan wawasan pada mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat
internasional, menjadi pendorong bagi tiap perguruan tinggi untuk bisa bersaing
dalam kancah persaingan globa, bermanfaat besar bagi ilmu pengetahuan,
pembangunan sosial dan ekonomi.
Namun disisi lain juga
ditakuti karena tanpadisadari
program ini kemudian akan berubah menjadi komoditas bisnis, juga dapat melukai anak-anak bangsa.
Kemudian akan semakin menjauhkan akses pendidikan tinggi dari rakyat menengah
ke bawah dan akan menimbulkan ancaman bagi eksistensi kekayaan budaya Nasional,
Indonesia justru akan kehilangan keunikan pelajaran mengenai budaya Indonesia
dan tentunya mengancam eksistensi pendidian tinggi terutama perguruan tinggi
swasta di Indonesia.
Sedangkan pada era globalisasi ini perkembangan ilmu dan teknologi yang
pesat menuntut munculnya beragam jenis dan kualitas produk yang lebih kompetitif sesuai dengan kebutuhan masyaraka tglobal.
E.
Kemerdekaan Berpendidikan dan
Pendidikan yang Memerdekakan
Kata “merdeka” sangat
erat kaitannya dengan pendidikan. Substansi pendidikan adalah menyangkut soal
kemerdekaan. Ada dua bentuk kaitan antara pendidikan dengan kemerdekaan.
Pertama, secara substansial, kaitan antara
pendidikan dan kemerdekaan menyangkut spirit dan konsep pendidikan itu sendiri.
Warga negara harus mereguk pendidikan yang berspirit "memerdekakan".
Metodologi maupun sistem pendidikan yang diimplementasikan tidak boleh memiliki
indikasi "pengekangan". Spirit kemerdekaan, dalam konsep pendidikan
sangat memengaruhi paradigma dan perspektif kebangsaankenegaraan seorang warga
negara. Pada akhirnya, itu akan menentukan cara pandang warga sebuah negara
terhadap dunia.
Pendidikan memiliki dua
dimensi: nasional dan global. Konsep pendidikan yang memerdekakan akan
melahirkan generasi-generasi dengan cara pandang yang merdeka pula. Mereka akan
memiliki paradigma yang melintas batas ruang dan waktu. Sehingga mereka bisa
membawa bangsa dan negara ini ke dalam kancah kompetisi internasional
Sebaliknya, konsep
pendidikan yang cenderung mengekang (tidak berspirit memerdekakan) akan
melahirkan generasi dengan cara pandang yang tertutup dan eksklusif. Mereka
tidak akan melihat kompetisi sebagai sebuah tantangan, melainkan ancaman.
Padahal dalam kancah global, keterbukaan dan kompetisi tak terhindarkan. Ada
ketakutan terhadap dunia luar sehingga cenderung menutup diri. Terjadi krisis
jati diri: tidak percaya pada kekuatan internal untuk mampu menghadapi
tantangan eksternal. Identitas ke-nasional-annya inferior di hadapan
globalitas. Jadi, konsep pendidikan dengan spirit memerdekakan, bukan
pengekangan, akan menentukan kualitas mental dan paradigma berpikir generasi
mendatang
Kedua, kaitan pendidikan dengan
kemerdekaan yang lain adalah bahwa mendapatkan pendidikan merupakan bagian dari
hak kewarganegaraan setiap orang. Itu adalah hak dasar yang harus dipenuhi oleh
negara kepada warganya. Sebuah negara (pemerintahan) dinilai sudah memenuhi hak
pendidikan warga negaranya, jika telah mencapai taraf "memerdekakan"
secara finansial. Pendidikan menjadi bagian dari "fasilitas" yang
diberikan oleh negara kepada warganya.
Pada dasarnya yang
berkebutuhan pada warga negara yang berpendidikan adalah negara, ketimbang
warga negara itu sendiri. Sebab tinggi rendahnya taraf pendidikan warga sebuah
negara akan menentukan masa depan negara itu sendiri. Klausul "memberikan
pendidikan layak adalah tanggung jawab dan kewajiban negara kepada
warganya" ada dalam konteks pengertian ini.
Sesuai dengan Pancadarma ke – 3 yang
dirumuskan oleh Ki Hadjar Dewantara yaitu Kemerdekaan,yang mengandung arti
bahwa kemerdekaan sebagai karunia Tuhan kepada manusia yang memberikan
kepadanya “Hak untuk mengatur dirinya sendiri”, dengan selalu mengingat syarat
tertib damainya hidup bermasyarakat. Karena itu kemerdekaan diri harus
diartikan Swadisiplin atas dasar nilai hidup yang luhur, baik hidup sebagai
individu maupun anggota masyarakat. Kemerdekaan harus menjadi dasar untuk
mengembangkan pribadi yang kuat dan sadar dalam suasana keseimbangan dan
keselarasan dengan kehidupan bermasyarakat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Fakta
keterbatasan akses pendidikan publik bukanlah barang baru di negeri ini.
Keterbatasan infrastruktur menyebabkan pendidikan (sekolah) menjadi barang
mahal. Keterbatasan itu kian mencolok di tengah minat publik untuk mengenyam
pendidikan semakin meningkat. Pendidikan memiliki dua dimensi:
nasional dan global. Konsep pendidikan yang memerdekakan akan melahirkan
generasi-generasi dengan cara pandang yang merdeka pula. Mereka akan memiliki
paradigma yang melintas batas ruang dan waktu. Sehingga mereka bisa membawa
bangsa dan negara ini ke dalam kancah kompetisi internasional.
Sebaliknya, konsep
pendidikan yang cenderung mengekang (tidak berspirit memerdekakan) akan
melahirkan generasi dengan cara pandang yang tertutup dan eksklusif. Mereka
tidak akan melihat kompetisi sebagai sebuah tantangan, melainkan ancaman.
Padahal dalam kancah global, keterbukaan dan kompetisi tak terhindarkan. Ada
ketakutan terhadap dunia luar sehingga cenderung menutup diri. Terjadi krisis
jati diri: tidak percaya pada kekuatan internal untuk mampu menghadapi
tantangan eksternal. Identitas ke-nasional-annya inferior di hadapan
globalitas. Jadi, konsep pendidikan dengan spirit memerdekakan, bukan
pengekangan, akan menentukan kualitas mental dan paradigma berpikir generasi
mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar